Berbicara mengenai sejarah al-Qur’an, tidak lepas dari fakta-fakta dan riwayat-riwayat yang semuanya tertulis dan terekam dengan jelas, dimana tidak ada keraguan didalamnya. Walaupun demikian para pendusta Agama selalu mencari celah dari sisi ini untuk menyerang keautentikan al-Qur’an. Akan tetapi semuanya itu selalu berakhir dengan jawaban yang jelas.
Dalam makalah yang sederhana ini saya tidak bermasud mengungkap syubuhat-syubuhat yang dilontarkan seputar sejarah pengumpulan al-Qur’an. Namun saya akan mencoba memaparkan sejarah bagaimana al-Qur’an yang diturunkan 1429 tahun yang lalu ini (hitungan tahun Hijriyah) dapat sampai kepada kita tanpa ada penambahan dan pengurangan apapun. Dengan mengacu pada tiga Peroide pengumpulan yang sangat masyhur yaitu; zaman Rasulullah, Abu Bakr ra, dan Utsman bin Affan ra.
A. Al-Qur’an pada zaman Rasulullah.
Pengumpulan al-Qur’an pada zaman Rasulullah saw bisa berarti 2 makna : menghafalkannya dalam hati, atau menulisnya dalam lembaran-lembaran.
a. Penghafalan al-Qur’an.
Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw secara lisan melalui malaikat Jibril, yang kemudian disampaikan kepada para Sahabat ra secara lisan pula. Dan demikian juga para sahabat meriwayatkannya kepada para tabi’in, dan para tabiin kepada tabi’uttabi’in dengan cara itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa al-Qur’an diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan lisan. Karena itu kekuatan hafalan menjadi pondasi yang sangat kokoh dalam menjaga keutuhan al-Qur’an. Apalagi pada zaman Rasulullah dimana sarana dan kemampuan dalam hal tulis menulis masih sangat sederhana sekali. Disisi lain kecerdasan dan kemampuan hafalan mereka sangat kuat sekali.
Dikisahkan bahwa Rasulullah saw mencurahkan energinya untuk menghafalkan Al-Qur’an, sehingga beliau menggerakkan lisannya dengan kuat ketika melafadzkan wahyu, karena takut akan lupa, atau terlewat satu hurup darinya. Dan beliau terus melakukan hal itu sehingga Allah swt menenangkannya dan memberi janji untuk mengumpulkan dan menyimpannya dalam hati beliau. (Surah Qiyamah ayat : 16-19)
Dan begitulah al-Qur’an telah melekat dalam hafalan Rasulullah saw. Mentadabburinya setiap saat, menghidupkan malam dengan al-Qur’an, dan membacanya saat salat. Dan mengulangi bacaan al-Qur’an dengan malaikat Jibril setahun sekali, dan pada tahun dimana beliau wafat dua kali. Sebagai mana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra.
Begitu pula para sahabat ra, mereka senantiasa menanti datangnya wahyu, untuk kemudian dihafalkan, dan disebarkan kepada sahabat yang lain. Dan al-Qur’an telah menjadi perhatian mereka yang paling utama. Mereka berlomba dalam menghafalkannya, membacanya setiap saat. Memahami makna yang terkandung didalamnya.
Disamping itu Rasulullah mengutus para sahabat untuk mengajarkan al-Qur’an kepada para kabilah. Diutusnya mus’ab ibnu umair dan ibnu ummi maktum ke madinah sebelum beliau hijrah, sebagaimana diutusnya mu’adz bin jabal ke mekah setelah beliau hijrah.
Karena besarnya perhatian Rasulullah dan para sahabat terhadap al-Qur’an, maka sangat wajar sekali kalau semasa beliau hidup telah banyak para sahabat yang hafal al-Qur’an.
b. Penulisan al-Qur’an.
Sudah menjadi kesepakatan para Ulama bahwa Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi Rasul adalah seorang yang Ummi, dalam arti tidak menulis dan tidak membaca. Karena itu al-Qur’an tidak diturunkan dalam sebuah tulisan atau buku. Namun perhatian Beliau dalam pencatatan al-Qur’an sangatlah tinggi; Beliau tidak mengizinkan para sahabat untuk menulis sesuatu yang bersumber dari beliau kecuali al-Qur’an. Beliau mengangkat kuttabul Wahyi yang jumlahnya kurang lebih 45 Sahabat ra, sehingga setiap kali turun ayat al-Qur’an beliau memanggil mendiktekan al-Qur’an kepada mereka. Diantara para penulis wahyu adalah : Khulafaurrasyidun, Mu’awiyah, Aban bin said, khalid bin walid, Ubay bin Kaab, Zaid bin tsabit, Tsabit bin Qais. Mereka menulisnya diatas pelapah kurma, batu, kulit pohon, kulit dan tulang hewan, Diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata : “adalah Rasulullah saw ketika turun kepadanya suatu surah, beliau memanggil sebagian penulis wahyu, dan bersabda : “Letakkanlah surah ini pada tempat dimana disana disebutkan begini dan begini”. Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata : “Adalah kita bersama Rasulullah saw menulis al-Qur’an diatas kulit”.
Selain itu ada juga sahabat yang mencatat al-Qur’an untuk dibaca sendiri (mushaf fardi), Kisah masuk Islamnya umar bin khattab, dimana ia menemukan adik Iparnya khabba dan adiknya Fatima sedang membaca sebagian surah Thaha dalam suatu lembaran, dapat mempertegas hal ini.
Dengan demikian ketika Rasulullah wafat al-Qur’an sepenuhnya telah tertulis menggunakan sarana yang sangat terbatas, namun tulisan ini belum terkumpul dan masih tercecer ditangan para sahabat khususnya para penulis wahyu.
Beberapa catatan tentang penulisan al-Qur’an pada masa ini :
1. Al-Qur’an selain terkumpul dalam hafalan para sahabat juga tertulis diatas sarana yang sangat terbatas.
2. Mencakup ayat-ayat yang mansukh tilawah.
3. Tujuan pencatatan al-Qur’an pada masa ini adalah sebagai arsif data untuk menambah penjagaan terhadap al-Qur’an, sehingga Rasulullah merasa yakin bahwa al-Qur’an tidak akan hilang (dilupakan).
Sebuah pertanyaan muncul. Mengapa pada waktu itu al-Qur’an tidak dikumpulkan dalam sebuah buku? Sedikitnya ada 4 alasan :
1. Tidak adanya faktor yang mendorong untuk disusunnya al-Qur’an dalam sebuah mushaf, (buku, lembaran-lembaran), seperti yang terjadi zaman Abu Bakr atau Utsman ra. Ummat Islam ketika itu dalam keadaan baik, aman, Huffadz juga berjumlah banyak, dan perhatian Rasulullah terhadap pengajaran al-Qur’an sangat tinggi.
2. Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun.
3. Dalam masa penurunan al-Qur’an yang berangsur-angsur itu, selain turun wahyu yang baru juga terkadang ada penghapusan ayat lama sesuai kehendak Allah swt.
4. Bahwa susunan ayat dan surah tidak berdasarkan waktu turunnya. Dan kita ketahui bersama bahwa turunnya al-Qur’an karena berbagai sebab yang melatar belakanginya.
B. Al-Qur’an pada zaman Abu Bakr ra.
Meski Nabi Muhammad saw telah mencurahkan segala upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam memelihara keutuhan al-Qur’an, namun beliau tidak merangkum semua surah ke dalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan oleh Zaid bin Tsabit dalam pernyataannya : “Saat Nabi Muhammad wafat, Al-Qur’an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku.” (HR : Bukhari)
Sudah menjadi maklum bahwa selepas Wafatnya Rasulullah saw Abu Bakr ra didaulat menjadi Khalifah, dimana masa itu adalah masa transisi yang ditandai dengan peperangan melawan para pemberontak. Salah satunya peristiwa perang yamama yang terjadi pada tahun ke 12 H, perang antara kaum muslimin melawan orang-orang murtad kelompok Musailamah al kadzab. Dalam peristiwa itu sedikitnya 70 orang sahabat huffadzul Qur’an meninggal syahid. Peristiwa ini membuka mata hati Umar bin khattab ra, untuk mengusulkan pengumpulan al-Qur’an kepada Abu Bakr ra. Yang kemudian beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melaksanakan amanat ini. Berikut pernyataan Zaid bin Tsabit ra :
” Abu Bakr memanggil saya setelah terjadi peristiwa pertempuran al¬Yamama yang menelan korban para sahabat sebagai shuhada. Kami melihat saat ‘Umar bin Khattab bersamanya. Abu Bakr mulai berkata,” ‘Umar baru saja tiba menyampaikan pendapat ini, ‘Dalam pertempuran al-Yamama telah menelan korban begitu besar dari para penghafal Al¬Qur’an (qurra’), dan kami khawatir hal yang serupa akan terjadi dalam peperangan lain. Sebagai akibat, kemungkinan sebagian Al-Qur’an akan musnah. Oleh karena itu, kami berpendapat agar dikeluarkan perintah pengumpulan semua Al-Qur’an.” Abu Bakr menambahkan, “Saya kata¬kan pada ‘Umar, ‘bagaimana mungkin kami melakukan satu tindakan yang Nabi Muhammad tidak pernah melakukan?’ ‘Umar menjawab, ‘Ini merupakan upaya terpuji terlepas dari segalanya dan ia tidak berhenti menjawab sikap keberatan kami sehingga Allah memberi kedamaian untuk melaksanakan dan pada akhirnya kami memiliki pendapat serupa. Zaid! Anda seorang pemuda cerdik pandai, dan anda sudah terbiasa menulis wahyu pada Nabi Muhammad, dan kami tidak melihat satu kelemahan pada diri anda. Carilah semua Al-Qur’an agar dapat dirang¬kum seluruhnya.” Demi Allah, Jika sekiranya mereka minta kami me¬mindahkan sebuah gunung raksasa, hal itu akan terasa lebih ringan dari apa yang mereka perintahkan pada saya sekarang. Kami bertanya pada mereka, ‘Kenapa kalian berpendapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?’ Abu Bakr dan ‘Umar bersikeras mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja dan malah akan membawa kebaikan. Mereka tak henti-henti menenangkan rasa keberatan yang ada hingga akhirnya Allah menenangkan kami melakukan tugas itu, seperti Allah menenangkan hati Abu Bakr dan ‘Umar” (HR Bukhari).
Beberapa dasar terpilihnya Zaid sebagai pengumpul al-Qur’an :
1. Masa muda Zaid yang menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya.
2. Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakr memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, ‘Kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada anda.
3. Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran.
4. Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu.
5. Zaid merupakan salah seorang sahabat yang sempat mendengar bacaan Al-Qur’an Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadan.
Pelaksanaan pengumpulan al-Qur’an.
Abu Bakr dan Umar ra, secara langsung turut mengawasi, pelaksanaan proyek yang maha besar ini dan bahkan dibuatnya aturan yang ketat. Dimana catatan al-Qur’an, atau pemberitahuan tentang al-Qur’an yang dibawa seorang sahabat harus didukung 2 saksi yang ‘adil, yang bersaksi bawa dia melihat bagian al-Qur’an itu ditulis depan Rasulullah. Abu bakr berkata kepad Umar dan Zaid : ” Duduklah di depan pintu gerbang Masjid Nabawi. Jika ada orang membawa (memberi tahu) anda tentang sepotong ayat dari Kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah.” Tujuannya adalah agar Zaid menerima sesuatu yang telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad bukan semata-mata berlandaskan pada hafalan seseorang saja.
Dengan demikian sumber utama pengumpulan berupa tulisan yang ditemukan-baik di atas kertas kulit, papan-papan kayu, atau daun-daun dst, tidak hanya diverifikasi dengan tulisan-tulisan yang lainnya saja, tetapi juga melalui hafalan para sahabat yang belajar langsung dari Nabi saw. Dan dalam keadaan apa pun Zaid selalu merujuk pada hafalan orang lain beliau berkata : “Al-Qur’an saya kumpulkan dari berbagai bentuk kertas kulit, potongan tulang, dan dari dada para penghafal.”
Ibn Hajar memberi catatan terhadap keterangan yang diberikan Zaid : “Saya dapati dua ayat terakhir dalam Surah al-Bara’h hafalan ada pada Abu Khuzaima al-Ansari,” hal itu membuktikan bahwa tulisan yang ada pada Zaid serta hafalannya dianggap tidak mencukupi. Sehingga ada saksi yang menguatkan.
Dibawah aturan yang ketat itulah Mushaf dikumpulkan pada zaman Abu Bakr ra, dengan pengawasan dari para kibar sahabat, ‘Ali bin Thalib berkata : “Sesungguhnya Abu Bakr adalah orang yang paling banyak pahalanya, dan dialah orang yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an”.
Mushaf berada ditangan Abu Bakr sehingga beliau mangkat, kemudia perpindah ke tangan Umar ra, dan selanjutnya diserahkan kepada Ummul Mu’minin Hafsah ra.
Beberapa catatan :
1. Al-Qur’an telah ditulis sempurna diatas lembaran-lembaran yang tidak sama ukurannya sehingga, tidak tersusun secara rapih.
2. Ditulis dengan tertib ayat pada setiap surah. Dengan surah yang tidak urut. Ada sebagian riwayat yang mengatakan diurutkan sesuai waktu turunnya.
3. Tidak menyertakan ayat-ayat yang telah dinaskh bacaannya.
4. Tujuan penulisannya adalah; untuk mengumpulkan tulisan-tulisan, yang dicatat pada zaman Rasulullah, dalam sebuah lembaran-lembaran sederhana.
C. Al-Qur’an pada Zaman Ustman bin Affan.
Pada masa Utsman ra wilayah kekuasaan Islam sudah meluas, dengan banyaknya pembukaan yang dilakukan pada waktu itu. Sudah menjadi maklum bahwa setiap pembukaan suatu kota selalu diiringi dengan masuk Islamnya masyarakat setempat. Untuk kebutuhan pembelajaran al-Qur’an maka setiap ahlu amshar membaca al-Qur’an dengan mengikuti Sahabat yang paling terkenal diantara mereka. Waga Syam mengikuti bacaannya Ubay bin Ka’ab ra, warga Kufah mengikuti bacaannya Abdullah bin Mas’ud ra, dan selain mereka mengikuti bacaannya Abu Musa al Asy’ari ra. Dan diantara mereka terjadi perbedaan cara baca, dengan perbedaan dialek tika bacaan. Lalu muncullah rasa panatik terhadap bacaan masing-masing, yang berakibat terjadinya perselisihan, bahkan saling mengkafirkan.
Adalah Hudzaifah bin al-Yamani yang melihat perselisihan ini lalu melapor kepada Utsman seraya berkata : “Wahai khalifah, ‘Ambillah tindakan untuk umat ini sebelum berselisih tentang kitab mereka seperti orang Kristen dan Yahudi”.
Utsman kemudian meminta pendapat para sahabat yang ada ketika itu, yang kemudian disepakati untuk merekap ulang al-Qur’an menjadi beberapa mushaf yang kemudian akan disebarkan ke kota-kota besar untuk dijadikan rujukan, dan menyuruh umat Islam untuk membakar semua mushaf yang ada.
Pelaksanaannya :
Proyek ini dilaksanakan pada tahun 24 H akhir (25 H awal), tahun yang sama ketika Hudzaifah melapor. Kemudian ditunjuklah 4 orang penulis; Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Said bin Abi Waqash, dan ‘Abdurrahman bin Harist bin Hisyam ra. Tiga orang terakhir dari orang Quraisy. Ada juga yang meriwayatkan 7 orang.
Lalu Ustman mengutus utusan untuk mengambil mushaf Abu Bakr, yang berada di tangan Hafsah ra. Bersandarkan mushaf itulah lajnah ini kemudian menulis kembali al-Qur’an kedalam beberapa mushaf, yang nantinya akan disebar. Dimana mereka tidak menulisnya kecuali dibacakan dulu depan para sahabat dan mereka mengakuinya.
Aturan penulisan :
Al-Qur’an ditulis dengan tidak disertai dengan titik dan tanda baca, supaya dapat mencakup qira’ah sab’ah, sehingga satu kalimat dapat dibaca dengan beberapa varian, sebagai contoh :
{إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا} dengan tidak adanya titik dan harakat ayat tersebut bisa dibaca {فتثبتوا} yang juga qira’ah mutawatirah dari Rasulullah. {وانظر إلى العظام كيف ننشرها} bisa dibaca dengan {ننشزها}. Adapun perbedaan bacaan dengan penambahan huruf, maka ditulis pada satu mushaf dengan satu bacaan dan dimushaf yang lain dengan bacaan yang lain. Contoh :
{ووصى بها إبراهيم بنيه ويعقوب} ditulis pada mushaf yang lain dengan {أوصى} .
juga {لهم جنات تجري من تحتها الأنهار} ditulis pada mushaf yang lain {لهم جنات تجري تحتها الأنهار} dengan membuang kata (من) dimana keduanya adalah qira’ah mutawatirah.
Aturan lain yang diterapkan adalah penyetaraan tulisan kedalam dialek quraisy, Utsman berkata kepada para lajnah : “Apabila terjadi perselisihan bacaan antara kalian dengan Zaid, maka tulislah dengan dialek quraisy karena al-Qur’an diturunkan dengan lisan mereka”.
Setelah selesai proyek ini, mushaf Abu Bakr dikembalikan kepada Hafsah. Dan Utsman ra mengirimkan copyan al-Qur’an ini ke berbagai kota dengan mengirim orang yang akan mengajarkannya ; Zaid bin Thabit di Madinah, ‘Abdullah bin as-Sa’ib ke Makkah, al¬ Mughirah bin Shihab ke Suriah, ‘Amir bin ‘Abd Qais ke Basra dan Abu ‘Abdur-Rahman as-Sulami ke Kufah.
Kemudian Utsman menyuruh umat Islam untuk membakar semua mushaf fardi, untuk menghilangkan sumber perpecahan dari akarnya, dan membawa umat Islam berkiblat kepada al-Qur’an yang telah dikumpulkan melalui seleksi yang super ketat dan mendapatkan pengakuan dari seluruh sahabat dan kibarutta’biin ketika itu. ‘Ali bin Abi Thalib berkata : “Wahai sekalian manusia ! Bertaqwalah kepada Allah swt, dan tinggalkanlah sikap berlebih-lebihan terhadap Utsman, dengan mengatakan : Pembakar mushaf. Demi Allah tidaklah Ustman membakarnya kecuali atas persetujuan kita (para sahabat)”. Dan ‘Ali juga berkata : ” Kalau saya menjadi pemimpin pada waktu Utsman, saya akan berbuat terhadap masahif, seperti yang dilaklukan Utsman”.
Beberapa catatan :
1. Al-Qur’an yang ditulis ulang, adalah yang benar-benar mutawatir, tidak mansukh tilawah, dan yang dibaca ulang nabi Muhammad saw dengan Malaikat Jibril terakhir kali (tahun dimana beliau wafat).
2. Ditulis dengan susunan surah dan ayat seperti yang kita kenal sekarang.
3. Ditulis dengan mencakup aspek perbedaan bacaan, yang sama-sama mutawatir bersumber dari Rasulullah.
4. Tidak mencantumkan sesuatu yang bukan al-Qur’an, seperti penafsiran, atau keterangan naskh mansukh.
F. Perkembangan alat bantu bacaan dalam mushaf utsmani :
1. Tanda pemisah surah : pada awal penulisan, tanda pemisah antara satu surah dengan yang lainnya adalah lafadz bismillah, kemudian para ulama pada abad pertma Hijrah mempertegas dengan memberi khat (garis-garis pemisah). Dan perkembangan selanjutnya dengan menulis nama masing-masing surah.
2. Begitu juga dengan pemisah ayat, pada awal penulisan, tidak ada tanda pemisah yang baku; ada yang berbentuk dua kolom dari setiap tiga titik; ada yang berbentuk garis dan empat titik, dan ada titik yang berbentuk segitiga. Sedangkan perkembangan berikutnya dengan meletakkan angka pada setiap akhir ayat.
3. Pemberian titik, untuk membedakan huruf. Yang dilakukan oleh para tabiin yang diantara mereka adalah : Abul Aswad Adduali, Nashr bin ‘Ashim allaitsi, Yahya bin Ya’mar, Khalil bin Ahmad. Dan ini adalah terobosan yang sangat bermanfaat bagi para pembaca. Dan itu tidak merubah sedikit pun apa yang ada didalamnya.
4. Dalam perkembangan selanjutnya tulisan al-Qur’an dibubuhi dengan tanda baca harakat, itu juga sangat bermanfaat bagi para pembaca, apalagi bagi orang yang bukan arab.
5. Ditambahkan pula tanda berhenti dalam ayat, {صلى، قلى، ج} {لا، م}
6. Dibuatnya pengelompokan al-Qur’an kedalam 7 kelompok, yang disebut dengan manazil, dibuat sebagai panduan bagi orang yang ingin mengkhatam al-Qur’an dalam satu minggu. Ada juga pengelompokan dalam 30 kelompok yang disebut juz. Sebagai panduan bagi orang yang ingin mengkhatam dalam 1 bulan.
G. Referensi :
1. مناهل العرفان في علوم القرآن، لمحمد عبد العظيم الزرقاني.
2. حقائق الإسلام في مواجهة شبهات المشككين. أ. د محمدو حمدى زقزوق.
3. البرهان في علوم القرآن. للزكشي.
4. الاتقان في علوم القرآن للسيوطي.
5. Metodologi Bible dalam studi Al-Qur’an. Adnin Armas, MA.
6. Sejarah teks al-Qur’an dari Wahyu sampai kompilasinya. Prof. Dr. M.M al A’zami.
Back to....>
Home>Coret-Coret Akademi>Ulum eL Qur'an